2.1. Bahaya Tumpahan minyak bumi
Minyak
bumi terbentuk sebagai hasil akhir penguraian bahan-bahan organik yang berasal
dari sel-sel dan jaringan hewan dan tumbuhan laut yang tertimbun selama jutaan
tahun di dalam tanah, baik di daerah daratan atau pun di daerah lepas pantai.
Minyak
mentah yang tumpah di laut memiliki dampak negatif yang cukup besar bagi
kehidupan dan lingkungan. Tumpahan minyak di laut biasanya berasal dari
kebocoran kapal tanker minyak yang beroprasi di laut.
Kecelakaan
besar tumpahnya minyak di laut yang pernah terjadi adalah yang menimpa
kapal Torrey Canyon di daerah Cornwall-Inggris (1976) menumpahkan
117.000 ton, Amoco Cadiz di Inggris (1978) menumpahkan 223.000 ton, Exxon
Valdez di Alaska (1989) menumpahkan 11.2x
ton sepanjang 3800 km dari garis pantai, dan
Mega Borg di Texas (1990) menumpahkan 500.000 gallon minyak. Tumpahan minyak
akibat meledaknya kilang minyak montara mengakibatkan kerugian sebesar Rp. 860
miliar selain itu, diperkirakan sebanyak 500 spesies pembentuk terumbu karang
rusak dan 3.000 spesies ikan terancam punah.
Menurut
Triatmodjo (1999), Tumpahan minyak di laut dapat mengakibatkan pencemaran
hingga di daerah pesisir. Hal ini karena daerah pesisir merupakan daerah yang
mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air
laut. Tumpahan minyak yang terbawa bersama arus pasang dapat terpenetrasi dan
terakumulasi di dalam tanah (Pezeshki dkk., 2000).
Komponen
hidrokarbon yang bersifat toksik berpengaruh pada reproduksi, perkembangan,
pertumbuhan, perilaku biota laut dan merusak ekosistem mangrove. Secara
langsung minyak menyebabkan kematian pada ikan karena kekurangan oksigen,
keracunan karbon dioksida, dan keracunan langsung oleh bahan berbahaya. Efek
dari tumpahan minyak di laut dapat dibagi menjadi dua tipe yaitu minyak yang
larut akan mengapung pada permukaan air dan minyak yang tenggelam akan terakumulasi
didalam sedimen sebagai deposit hitam pada pasir dan bebatuan di pantai.
Minyak
yang larut akan mengapung pada permukaan air dapat menyebabkan air laut menjadi
berwarna hitam dan menggangu organisme yang hidup pada permukaan perairan.
Minyak yang tergenang di atas permukaan laut ini akan menghalangi masuknya
sinar matahari kedalam zona fotik dan tentu saja akan mengurangi intensitas
cahaya matahari yang akan digunakan oleh fitoplankton untuk berfotosintesis
sehingga dapat memutus rantai makanan pada daerah tersebut, jika hal demikian terjadi, maka secara
langsung akan mengurangi laju produktivitas primer pada daerah tersebut karena
terhambatnya fotosintesis fitoplankton. Selain itu, genangan minyak juga akan
menghalangi pertukaran gas dari atmosfer sehingga dapat mengurangi kelarutan
oksigen. Kekurangan oksigen akan mempengaruhi bentuk kehidupan laut yang aerob.
Minyak
yang tenggelam akan terakumulasi didalam sedimen sebagai deposit hitam pada
pasir dan bebatuan di pantai akan mengganggu organisme interstitial maupun
organime intertidal, organisme intertidal adalah organisme yang hidupnya berada
pada daerah antara pasang tertinggi dan surut terendah. Ketika minyak tersebut
sampai ke pada bibir pantai, maka organisme yang rentan terhadap minyak seperti
kepiting, anemon, moluska dan lainnya akan mengalami hambatan pertumbuhan,
bahkan dapat mengalami kematian. Sama halnya dengan organisme interstitial
yaitu organisme yang hidup diantara pasir dan bebatuan seperti cacing policaeta,
rotifer, Crustacea dan organisme lain. Minyak-minyak tersebut akan terakumulasi
dan terendap pada dasar perairan seperti pasir dan bebatuan sehingga akan
mempengaruhi tingkah laku, reproduksi, dan pertumbuhan dan perkembangan hewan
yang mendiami daerah ini.
Minyak
dapat menyebabkan tertutupnya lapisan daun sehingga menghambat jalur
transpirasi, dan berkurangnya fotosintesis daun. Senyawa
hidrokarbon aromatis polisiklis (PAH) yang terkandung didalam minyak memiliki
toksisitas yang cukup tinggi. Efek toksik dari hidrokarbon jangka pendek antara
lain adalah bahwa molekul-molekul hidrokarbon minyak dapat merusak membran sel
biota laut dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel (Sumadhiharga,
1995). Hidrokarbon dapat menyebabkan larutnya lapisan lemak yang menyusun
membran sel, sehingga menyebabkan hilangnya cairan sel atau kematian terhadap
sel (Rosenberg and Ron, 1998). Ketahanan PAH di lingkungan dan toksisitasnya
meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah cincin benzenanya (Mueller et al.
1998).
2.2. Hidrokarbon minyak bumi
Komposisi minyak bumi terdiri dari
campuran kompleks senyawa organik yaitu hidrokarbon dalam komposisi paling
besar yaitu sekitar 90% dan senyawa non-hidrokarbon (Fahruddin, 2010). Senyawa
hidrokarbon merupakan senyawa yang tersusun atas atom C (carbon) dan atom H
(Hidrogen). Senyawa Hidrokarbon digolongkan dalam 3 kategori yaitu Hidrokarbon
alifatik, hidrokarbon alisiklik dan hidrokarbon aromatik.
Benzena merupakan salah satu jenis
senyawa hidrokarbon aromatik dengan struktur molekul berbentuk siklik satu
cincin. Benzena memiliki sifat molekul dengan resonansi yang tinggi sehingga
cenderung stabil di alam. Hal ini yang menyebabkan benzena bersifat rekalsitran
terhadap degradasi, bersifat toksik dan karsinogenik.
Senyawa Non-hidrokarbon yang
terkandung dalam minyak mentah adalah senyawa Sulfur, Oksigen, Nitrogen dan
Logam (Head et al, 2006), namun dalam jumlah yang sangat sedikit.
2.3.
Bioremediasi oleh Mikroorganisme
Bioremediasisi merupakan perombakan secara biologis
dengan bantuan mikroba. Mekanisme yang berlangsung yaitu bioremediasi oleh
enzim-enzim yang dihasilkan mikroba tertentu atau biosorpsi oleh dinding sel
mikrob dimana senyawa yang berbahaya tersebut diubah secara enzimatis menjadi
senyawa lain yang tidak berbahaya misalnya
, metan, air, garam-garam anorganik, dan
hasil samping lain yang lebih sederhana dari senyawa semula. Mikroorganisme
merupakan makhluk hidup mikroskopis yang memiliki kemampuan menjaga
keseimbangan lingkungan.
Menurut Dr. Fahruddin, mikroba yang dimanfaatkan
sebagai pendegradasi harus mampu menghasilkan enzim oksigenase yang dapat
mengoptimalkan hubungan permukaan sel mikroba dengan bahan pencemar melalui
interaksi hidrofobik.
Dua pendekatan yang dapat digunakan dalam
bioremediasi tumpahan minyak adalah bioaugmentasi
yaitu mikroorganisme pengurai ditambahkan untuk melengkapi populasi mikroba
yang telah ada, dan biostimulasi
yaitu pertumbuhan pengurai hidrokarbon asli dirangsang dengan cara menambahkan
nutrien dan/atau mengubah habitat (Venosa & Zhu, 2003). Dalam banyak
penelitian lapangan, ternyata metode bioaugmentasi terbukti kurang efektif,
karena kondisi isolasi bakteri yang tidak sama dengan kondisi lapangan.
Sebaliknya, banyak penelitian laboratorium maupun lapangan yang menunjukkan
keberhasilan metode biostimulasi.
Proses degradasi yang dilakukan oleh bakteri secara
alami memerlukan waktu yang relatif lama
karena pengaruh faktor-faktor tertentu. Kecepatan biodegradasi minyak oleh
bakteri dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti konsentrasi bahan pencemar, konsentrasi
biomassa, keragaman populasi, aktivitas enzim, ketersediaan oksigen, suhu yang
optimal untuk biodegradasi yaitu sekitar 30-40°C, pH yang berkisar antara 6,5 –
7,5 dan ketersediaan nutrisi untuk perkembangan bakteri seperti nitrogen dan
fosfor.
Hasil seleksi mikroba pendegradasi dari Indonesia
Center for Biodiversity and Biotechnology (ICBB) menyebutkan beberapa jenis
mikroba yang dapat mendegradasi minyak bumi yaitu jenis Klebsiella planticola ICBB1, Bacillus
thuringiensis ICBB2, Brevibacillus
choshinensis ICBB 3, Bacillus
thuringiensis ICBB4, Bacillus
fusiformis ICBB5, Bacillus fusiformis
ICBB6, Burkholderia norimbergensis ICBB7.
Sedangkan mikroba yang dapat mendegradasi benzena adalah sebagai berikut :
Tabel
Mikroba pendegradasi benzena
Jenis Mikroba
|
Karakteristik
|
Sumber/referensi
|
Mycobacterium
vaccae (ATCC
29678)
|
Kapasitas degradasi pada 50 ppm/72 jam
|
ATCC/ Burback dan Perry, 1993
|
Pseudomonas
putida MT-2
(ATCC 23793)
|
Mengandung Tol Plasmid pWWO.
|
Lee et al, 1995
|
Pseudomonas
putida
|
Oksidasi lewat katekol dengan enzim
1,2 dioksigenase
|
Irie et al, 1987
|
E. Coli JM83
|
Mengubah benzena menjadi katekol
melalui cis-benzena glycol
|
Irie et al, 1987
|
Pseudomonas
putida F1
|
Mampu mendegradasi BTX secara aerob
|
Yu et
al, 2001
|
Escherchia
coli
|
Mengandung klor bipenil dioksigenase
|
Suenaga et al, 2001
|
Sumber
: Bioteknologi Lingkungan (Fahruddin, 2010)
Mikroba-mikroba ini mampu mendegradasi senyawa
hidrokarbon dengan memanfaatkan senyawa tersebut sebagai sumber karbon dan
energi yang diperlukan bagi pertumbuhannya. Mikroorganisme ini memiliki
kemampuan mengoksidasi hidrokarbon dan menjadikan hidrokarbon sebagai donor
elektronnya sehingga dapat berpartisipasi dalam pembersihan tumpahan minyak
dengan mengoksidasi minyak bumi menjadi gas karbon dioksida (
) dan bioproduk seperti asam lemak, gas,
surfaktan, dan biopolimer.
tidak dapat ditentukan secara pasti seberapa besar
kemampuan bakteri mendegradsi minyak bumi karena setiap bakteri memiliki
kemampuan mendegradasi minyak bumi yang berbeda-beda dan juga kecepatan
degradasi sangat dipengaruhi oleh banyak faktor. Seperti penambahan nutrien
pada mikroba alami yang hidup pada areal yang tercemar minyak dapat menurunkan
konsentrasi minyak sebesar 36,61% dari konsentrasi awal dalam waktu 6 minggu (Munawar et al, 2007)
Hidrokarbon yang terkandung didalam minyak bumi
digunakan oleh mikroba sebagai substrat. Sebelum digunakan sebagai sumber
karbon, hidrokarbon harus dipecah terlebih dahulu melalui proses oksidasi yang
melibatkan oksigen sebagai akseptor elektron (Harayama et al, 1999). Oksigen ini berperan dalam metabolisme seluler yaitu
sebagai reaktan pada proses anabolisme dan katabolisme. Enzim yang berperan
dalam proses degradasi hidrokarbon adalah enzim oksigenase. Monooksigenase
mengkatalis masuknya satu atom kedalam senyawa organik. Oksigen yang bergabung
dengan senyawa organik dalam bentuk hidroksil (OH) dan satu atom oksigen lainya
membentuk molekul air (
). Aktivitas enzim monooksigenase sebagai
katalis masuknya gugus OH dalam senyawa organik disebut juga enzim hidroksilase.
2.4.
Biodegradasi hidrokarbon aromatik
Senyawa hidrokarbon aromatik dalam
minyak merupakan senyawa yang cukup toksik. Tingkat toksisitas senyawa
hidrokarbon aromatik ini sejalan dengan banyaknya jumlah cincin benzenanya.
Benzena adalah senyawa hidrokarbon aromatik berbentuk siklik satu cincin.
Beberapa mikroorganisme diketahui dapat mendegradasi hidrokarbon aromatik,
salah satunya adalah Pseudomonas putida (yu
et al, 2001).
Proses biodegradasi diawali dengan
masuknya dua atom oksigen dalam ikatan cincin benzena (munir, 2006) yang
dikatalis dengan bantuan enzim dioksigenase sehingga membentuk molekul
cis-dihidrodiol. Tahap oksidasi selanjutnya adalah pemecahan cincin aromatik
oleh enzim dioksigenase menjadi senyawa katekol. Katekol merupakan senyawa
hasil antara yang dapat masuk kedalam siklus krebs (siklus asam sitrat) yang
merupakan tahap penting dalam katabolisme hidrokarbon (fahruddin, 2010).
Selanjutnya akan terbentuk 2 jalur pemotongan yaitu ortho dan meta yang akan
dikatalis oleh enzim dioksigenase melalui jalur panjang. Produk akhir dari
proses degradasi ini adalah senyawa karbon dioksida (
.
Gambar alur biodegradasi senyawa
benzena
2.5. Pengaruh bioremediasi terhadap lingkungan
Teknik bioremediasi merupakan salah satu teknologi
yang mulai dikembangkan secara luas dan penerapannya terus berkembang
dilapangan. Teknologi ini relatif lebih ramah lingkungan, efisien, dan
penanganannya lebih cepat. Teknik bioremediasi juga menjadi salah satu bidang
penelitian dan perkembangan industi di beberapa negara. Teknik bioremediasi
menggunakan mikroorganisme yang dapat menghasilkan enzim yang digunakan sebagai
pendegradasi bahan pencemar tersebut. Gas-gas yang dihasilkan dari biodegradasi
minyak bumi adalah
dan NO. Gas-gas hasil aktivitas mikroba
ini akan terlepas ke atmosfir. Emisi gas
,
, dan
merupakan komponen utama gas rumah kaca yang
menghalangi pantulan panas dari bumi (Fahruddin, 2006). Emisi ini turut
menyumbang terjadinya efek rumah kaca. Selain itu, Gas
perlu diteliti
karena memiliki sifat korosif yang dapat merusak
peralatan pertambangan dari logam (Shaw, 2005).
PEMBAHASAN
Meskipun telah disadari
bahaya yang ditimbulkan dari tumpahan minyak akibat kecelakaan maupun limbah
buangan saat pengeboran minyak namun perusahaan-perusahaan minyak bumi tetap
berusaha mencari pasokan minyak untuk memenuhi kebutuhan akan bahan bakar fosil
tersebut.
Salah satu perusahaan
pengeboran minyak di Sulawesi Tengah terletak di Perairan Teluk Tolo kabupaten
Morowali. Meskipun belum pernah dikabarkan terjadi kecelakaan tumpahnya minyak
hasil pengeboran diteluk Tiaka tersebut namun dampak dari eksploitasi minyak di
daerah ini mulai dirasakan oleh nelayan yang mencari ikan di sekitar pengeboran
minyak. Mereka mengakui bahwa sejak perusahaan minyak ini berproduksi pada
akhir juli 2005, ikan tangkapan nelayan mulai berkurang.
Lapangan Minyak Tiaka memiliki
kapasitas produksi minyak mentah sebesar 1.600 barel per hari. Hasil
evaluasi dan perhitungan sumur tersebut menunjukkan bahwa cadangan minyak bumi
di lapangan Tiaka sebesar 106,56 juta barrel. Meskipun belum ada hitungan
pasti seberapa besar limbah lumpur minyak yang dihasilkan tiap tahunnya, belum
lagi tumpahan minyak pada saat proses pengeboran minyak, tanpa disadari
minyak-minyak tersebut telah mencemari areal sekitar pengeboran.
Daerah yang berpotensi
tercemar minyak tersebut dapat dipastikan dihuni oleh biota laut dan
mikroorganisme tertentu. Mikroorganisme yang hidup secara alami di areal tercemar inilah yang memiliki
potensi untuk dikembangkan sebagai agen bioremediasi bila sewaktu-waktu
kecelakaan terjadi dipengilangan minyak tersebut. Mikroorganisme yang hidup
diarea pengilangan minyak telah beradaptasi terhadap pencemaran minyak yang
terjadi sehingga akan lebih efektif bila menggunakan bakteri tersebut daripada
harus menambahkan bakteri lain yang belum tentu sesuai dengan kondisi daerah
yang tercemar. Penelitian lebih lanjut dan pengembangan skala laboratorium
perlu dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri yang hidup di Lapangan minyak
Tiaka Morowali.